Keheningan itu pecah oleh raungan sirine dan kentongan bertalu-talu. Belum juga situasi terkendali, membuncah teriakan yang membuyarkan kerumunan orang di tempat itu. ”Banjiir..banjiirr roob...!” Air bah menghitam itu pun kemudian menggulung puluhan manusia tanpa ampun.
Dengan topeng dan kostum jas hujan, manusia-manusia itu tampak sebagai mahluk tak berdaya yang menyedihkan. Situasi semakin dramatis dengan ribuan topeng yang diceburkan ke Polder Tawang. Dengan ilustrasi musik gending Jawa dari Sobokarti, topeng-topeng itu bagikan kepala manusia yang berjuang untuk hidup. Melolong-lolong minta tolong di tengah hamparan air yang diliputi kegelapan.
Gending dan lolongan manusia itu bersahut-sahutan menghadirkan kengerian. Ketika kedua suara memudar, dari kejauhan menghentak suara yang tak kalah mencekam. ”Hari ini tahun dua ribu enam puluh, bukan tahun dua ribu sepuluh. Panas bumi naik empat derajat celcius. menyengat, membakar, emncair bumi es. Permukaan air laut naik empat meter.
Menyempurnakan Semarang menjadi wista air. Berjejer, berderet perahu di Simpang Lima, mengawal turis, mengantar wisatawan menapak tilas. Semarang tenggelam...”
Teatrikal berjudul ”Rob” itu dimainkan oleh sekitar seratusan pelajar SMA Sedes Sapientiae, Selasa (14/12) malam sebagai rangkaian pembukaan Semarang Art festival (Sm@rt) 2010. Kokok Hari Subandi sebagai penggagas, menggambarkan bencana banjir dan rob yang menggulung Kota Semarang. Untuk perfomance kolosal itu, mereka membuat 6600 topeng.
Sebagian dikenakan para pemain dan ribuan lainnya diceburkan di polder.Ribuan topeng itu sendiri sebelumnya memecahkan rekor Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) ke 4461.
”Teatrikal ini dilatarbelakangi keprihatinan akan merosotnya kondisi lingkungan di Semarang. Rob dan banjir semakin meluas dan usaha pemerintah belum menampakkan hasil,” kata Kokok.
Dalam Sm@rt yang berlangsung hingga Minggu (19/12) mendatang, SMA Sedes juga menyumbang instalasi art berjudul Susu karya Herrybertus Virgo SPd. Instalasi itu disusun dari kaleng cat besar yang dirangkai memanjang seperti ular dan dicat sewarna sapi berbelang-belang. Hal itu merepresentasikan penggunaan air susu ibu (ASI) yang kalah oleh susu kaleng pabrikan.
”Panjangnya kaleng ini menggambarkan panjangnya generasi yang terabaikan,” jelas Kokok. (Anton Sudibyo-44/Suara Merdeka)